
Memaknai Pemilu sebagai Sarana Integrasi Bangsa
Jember - Tanggal 14 Februari 2024, bukan hanya sebagai hari kasih suara atau hari pencoblosan, sekaligus bertepatan peringatan hari kasih sayang atau dikenal valentine day. Momentum itu mestinya dapat menambah spirit bahwa pemilu nanti harus dapat menyatukan masyarakat, menghargai dan menghormati pilihan politik yang berbeda serta menerima hasil pemilu dengan legowo.
Pemilu 2024 diharapkan tidak lagi mempolarisasi masyarakat yang dapat menyebabkan perpecahan bahkan disintegrasi bangsa. Upaya meminimalisir pembelahan masyarakat dimulai dengan menanamkan mindset bahwa pemilu sejatinya hanya arena kontestasi, ajang persaingan antarcalon mendapat dukungan pemilih untuk menentukan siapa yang paling diinginkan mendapat jabatan.
Kontes, kata dasar dari kontestasi, memiliki makna sebuah pertunjukan untuk mengetahui siapa yang terbaik, sehingga hasil dari kontestasi adalah siapa yang terbaik di antara peserta kontes lainnya yang juga baik. Bukan pada kesimpulan bahwa yang terpilih adalah yang benar dan yang tidak terpilih adalah pihak yang salah, atau pada anggapan: menang dianggap curang, kalah dianggap pecundang.
Pemilu, juga dapat dimaknai sebagai arena konflik legal untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan. Tapi untuk spirit menjadikan pemilu sebagai sarana integrasi bangsa, maka memaknai pemilu sebagai arena kontestasi menjadi relevan dan integrasi lebih dapat terwujud. Karena kata konflik, memiliki makna negatif, dimana spirit peserta konflik akan saling menegasikan, saling meniadakan.
Dengan memaknai konflik, doktrin perjuangan calon atau tim sukses menjadi lebih ‘ekstrim’ antara pilihan yang benar atau salah, bahkan bisa sampai doktrin pilihan halal atau haram, antara haq dan batil, dengan prinsip yang penting menang. Memilih calon lain dianggap dosa dan memilih calonnya bisa masuk surga. Dampaknya, polarisasi di masyarakat akan sangat tajam, yang dapat berujung pada disintegrasi bangsa.
Tapi berbeda jika pemilu dimaknai sebagai arena kontestasi. Maka pertunjukan peserta cenderung hanya mengeksploitasi dirinya, menjual kemampuan terbaiknya untuk meyakinkan pemilih. Dalam kontestasi, menghargai dan menghormati calon lain lebih mudah terwujud, ketimbang dalam suasana konflik yang akan saling menegasikan.
Pemilu seyogyanya dimaknai sebagai arena kontestasi, kompetisi, kejuaraan, atau perlombaan, bukan sebagai ajang pertempuran anak bangsa untuk berebut kekuasaan. Pascakontestasi, pihak yang kalah memberi apresiasi, dan pihak yang menang tidak tinggi hati, saling merangkul, karena perbedaan peserta dari kontestasi bukan antara benar dan salah.
Dalam kontestasi, tidak ada lawan, tapi yang ada hanya kawan bertanding. Ending dari kontestasi, adalah adanya pengakuan kepada siapa yang terpilih, dia lah yang terbaik, dan pada akhirnya hasil pemilu dapat diterima oleh semua pihak.
Integrasi Bangsa
Perbedaan pilihan politik merupakan keniscayaan dalam berdemokrasi, tetapi perbedaan tidak boleh memisahkan. Pemilu sebagai arena kontestasi akan lebih berjalan damai, ketimbang pemilu jika dimaknai dengan semangat konflik. Jalan damai transisi kekuasaan akan mudah terwujud dalam arena kontestasi.
Setidaknya, beberapa faktor terwujudnya pemilu sebagai sarana integrasi bangsa yakni, pertama, bahwa penyelenggaraan pemilu harus berjalan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Karena jika penyelenggaraan pemilu sudah sesuai ketentuan, maka kepercayaan publik atas hasil pemilu akan kuat dan sulit terbantahkan. Berbeda jika penyelenggaraannya sudah tidak sesuai ketentuan, maka hasilnya akan mudah diragukan publik.
Maka, penyelenggara pemilu dalam hal ini KPU, Bawaslu dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) harus bekerja diatas rel aturan yang jelas. Pemilu berkualitas adalah predictable procedure, but unpredictable result. Maka peraturannya harus jelas, bertafsir tunggal, dan punya kepastian hukum.
Kedua, faktor yang dapat mewujudkan pemilu sebagai integrasi bangsa adalah peserta pemilu yang mematuhi peraturan. Proses kontestasi diikuti sesuai regulasi, tidak mencari celah hukum untuk membenarkan tindakannya. Tidak mengeksploitasi politik identitas, tidak melakukan tindakan yang dilarang, dan sportif dalam berkompetisi. Ketiga, warga yang memiliki hak pilih menjadi pemilih berdaulat, menjadi pemilih cerdas, memilih dengan pertimbangan rasional, bukan emosional, apalagi politik transaksional.
Ketua KPU RI Hasyim Asyari juga pernah mengatakan, bahwa proses integrasi bangsa akan dapat terwujud, karena desain keserentakan pemilu di tahun 2024 akan bersamaan dengan pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak di tahun yang sama. Dimana proses koalisi dalam pencalonan pemilihan kepala daerah berdasarkan hasil Pemilu 2024, sehingga bisa jadi berbeda platform politiknya saat pemilu, tapi sama tujuannya saat pencalonan kepala daerah.
Kita semua berharap, dari penyelenggara pemilu, peserta pemilu, pemilih dan pemerintah, bahwa kontestasi Pemilu 2024 nanti akan benar-benar menjadi sarana integrasi bangsa.